Pages

Monday, November 12, 2018

HEADLINE: Kebijakan Donald Trump dan 'Setan Lama' Pemicu Perang Dunia, Terkait?

Tak hanya kebijakan 'America First' Donald Trump yang jadi target kritik. Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau juga menyinggung soal permusuhan sang miliarder dengan pers. 

Trudeau mengatakan, serangan terhadap pers adalah bagian dari upaya politik untuk mempertahankan kekuasaan dan membungkam setiap kritik.

"Serangan terhadap media bukan hanya soal membuat kandidat yang kau dukung terpilih, misalnya, tapi juga meningkatkan level sinisme yang dimiliki warga terhadap semua otoritas, terhadap semua lembaga yang ada untuk melindungi kita sebagai warga negara," kata Trudeau dalam Paris Peace Forum, seperti dikutip dari media Kanada, Global News. 

"Saat orang-orang merasa tak terlindungi oleh lembaga, mereka akan mencari jawaban yang mudah dalam populisme, dalam nasionalisme, dalam menutup perbatasan, dalam menutup perdagangan, dalam xenophobia."

Hubungan Donald Trump dan media memang tak mesra. Ia kerap menuduh pers memproduksi 'berita palsu' (fake news) bahkan 'musuh rakyat'. 

Baru-baru ini, pada Rabu 7 November 2018, Donald Trump berselisih dengan jurnalis CNN Jim Acosta dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih.

Perselisihan itu bermula ketika Acosta mengajukan pertanyaan kepada Trump seputar rombongan imigran dari Amerika Tengah yang berjalan menuju ke AS untuk mencari suaka. Acosta bertanya mengapa Trump " mendefinisikan mereka sebagai penginvasi".

Trump tak suka dengan pertanyaan Acosta, menyebut bahwa dirinya "memiliki pandangan berbeda" soal isu tersebut. "Saya ingin mereka datang dengan legal, dengan dokumen resmi," jawab Trump.

Acosta terus melontarkan pertanyaan kepada Trump, hingga presiden AS itu kehilangan kesabaran dan mengatakan bahwa jurnalis CNN itu tak diperkenankan untuk bertanya lagi.

Tak lama kemudian seorang staf perempuan berusaha mengambil mikrofon yang dipegang Acosta. Namun, jurnalis itu bertahan dengan mendekap mikrofon itu ke tubuhnya.

"Sudah cukup, itu sudah cukup," kata Donald Trump kepada Acosta lalu menyuruhnya duduk dan meletakkan mikrofon.

"CNN seharusnya malu pada diri mereka sendiri, karena Anda bekerja untuk mereka. Caramu memperlakukan Sarah Huckabee (Sanders) mengerikan," kata Trump.

Sebagai ujung perselisihan Gedung Putih menangguhkan akses pers Acosta. Kantor kepresidenan memboikot jurnalis CNN itu untuk melakukan kegiatan pers di Gedung Putih.

Presiden AS, Donald Trump terlibat adu mulut dengan jurnalis CNN, Jim Acosta (tengah) saat konferensi pers di Gedung Putih sesaat setelah pemilu sela digelar, Rabu (7/11). Ketegangan bermula dari pertanyaan sang wartawan soal imigran. (MANDEL NGAN/AFP)

Aksi pemboikotan akses Jim Acosta menuai kecaman dari sejumlah jurnalis.

Asosiasi Koresponden Gedung Putih -- sebuah kelompok yang mewakili korps pers di kediaman presiden -- menyebut keputusan itu "di luar batas" dan "tidak dapat diterima". "Kami mendesak Gedung Putih untuk segera mencabut larangan itu."

Trump Gelisah?

Ekspresi Presiden AS Donald Trump saat menghadiri National Prayer Breakfast atau Sarapan Doa Nasional di sebuah hotel di Washington DC (8/2). (AFP Photo/Mandel Ngan)

CNN, dalam kolom opini yang ditulis oleh jurnalis Inggris Jane Merrick, menggarisbawahi bahwa apa yang ditunjukkan oleh Trump dalam konferensi pers pekan lalu merupakan "sikap seorang perundung yang marah dan kehilangan kendali setelah mengalami kehilangan kekuasaan."

"Ketika Partai Demokrat mengambil alih dominasi di DPR (House of Representatives) dalam pemilu paruh waktu, Donald Trump merasakan sekilas tentang bagaimana rasanya kehilangan beberapa --meskipun hanya beberapa-- kekuasaan," kata Merrick seperti dikutip dari CNN, Senin (12/11/2018).

Partai Demokrat (yang beroposisi) berhasil mengambil alih kekuasaan DPR dengan mengalahkan Partai Republik (yang memerintah) setelah merebut kursi dominan dalam pemilu paruh waktu (mid-term election) pekan lalu. Kemenangan Demokrat di DPR diprediksi akan membuat runyam pemerintahan Trump di sisa dua tahun masa jabatan kepresidenannya.

DPR mungkin akan menggencarkan kembali penyelidikan Kemeterian Kehakiman AS atas dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 --yang berujung pada kemenangan Trump-- dan beberapa isu lain, seperti pembatalan Obamacare, kebijakan Demokrat yang pro imigran, hingga prospek pemakzulan Donald Trump.

"Dan ketika para perundung berpikir mereka kehilangan kontrol, mereka menyerang dengan marah. Reaksi presiden merespons pertanyaan-pertanyaan sulit dari Jim Acosta dari CNN tentang kampanye Republik, dan retorika 'invasi'-nya adalah perilaku perundungan klasik: menyebut koresponden Gedung Putih sebagai "orang kasar, mengerikan" menunjukkan betapa terganggu Trump tentang hasil (pemilu paruh waktu)," lanjut Merrick.

Sementara itu, wartawan senior dan kepala jurnalis The New York Times untuk pos Gedung Putih, Peter Baker menilai bahwa tindakan Trump bukan sesuatu yang pernah ia lihat "selama bertugas meliput Gedung Putih".

"Presiden lain tidak takut menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit," kata Baker seperti dikutip dari CNN.

Jane Merrick dalam kolom opininya kepada CNN, juga mendesak agar jurnalis pos Gedung Putih balas memboikot kantor kepresidenan itu dengan menolak untuk menghadiri undangan agenda media --sebagai respons atas keputusan Gedung Putih memboikot Acosta.

"Keputusan Trump untuk mencabut izin Acosta ke Gedung Putih adalah kampanye yang sangat mengerikan untuk melawan kebebasan pers," kata Merrick.

Sementara itu, Ezra Klein dari Vox.com dalam sebuah kolom opininya untuk outlet media itu pada Oktober 2018 lalu menjelaskan, "Dengan mengabaikan pemberitaan soal Trump yang penuh kontroversi, media justru menempatkan diri mereka dalam posisi yang beroposisi."

"Meski dengan begitu, media harus kehilangan pembaca kepada outlet media lain yang terus berfokus menyebarkan provokasi dan aktivitas sosial media Trump."

Berbeda dengan Jane Merrick yang menunjukkan amarahnya kepada Trump dengan mendesak agar wartawan Gedung Putih membalas memboikot Trump sebagai respons atas perlakuan kantor itu kepada Acosta, kolumnis majalah ternama The New Yorker Masha Green justru berpendapat sebaliknya.

Dalam sebuah kolom untuk The New Yorker, Green membangun argumennya dengan mengatakan, "Alasan Jane Merrick memboikot Trump dan Gedung Putih mungkin ide yang bagus ... itu menunjukkan kepada mereka bahwa berita dan kisah yang sebenarnya --tentang berbagai kebijakan Trump tentang imigran hingga intervensi militer AS-- bukan di Washington DC, tapi di perbatasan AS-Meksiko, di Yaman, di Afghanistan, hingga di Palestina."

"Tapi," ujar Green memulai kontra-argumennya, "Berita tentang bagaimana fungsi-fungsi Pemerintahan AS masih harus diamati dari dekat. Pergi menjauh akan memberi Gedung Putih apa yang diinginkannya: lebih sedikit kontak dengan pers. 

Acosta bukan satu-satunya jurnalis CNN yang dicekal oleh Gedung Putih era Trump. Pada Juli 2018, koresponden CNN Kaitlan Collins dicekal untuk menghadiri acara kepresidenan Amerika Serikat oleh Gedung Putih, setelah mengajukan pertanyaan soal Rusia dan dugaan skandal perselingkuhan kepada Presiden AS Donald Trump dalam sebuah agenda peliputan.

Collins diketahui melontarkan pertanyaan dalam kapasitasnya sebagai 'pool reporter' kepada Donald Trump dalam sebuah sesi peliputan foto (photo-spray), ketika sang presiden AS menerima kunjungan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker di Gedung Putih, Rabu 25 Juli 2018.

Usai agenda tersebut, Collins mendapat pencekalan dari Gedung Putih, yang 'tak mengharapkan kehadirannya' untuk datang pada konferensi pers Trump-Juncker di Taman Mawar Gedung Putih.

Selama berkuasa, Trump dianggap telah berusaha untuk mendelegitimiasi seluruh pers dan media dengan terus mengkonstruksikan fakta kepada para pendukungnya bahwa dialah yang benar.

"Tetap bersama kami," kata Trump dalam sebuah pidato kampanye pra-pemilu paruh waktu 2018 Agustus lalu.

"Jangan percaya omong kosong yang Anda lihat dari orang-orang ini, para media berita palsu. . . . Apa yang Anda lihat dan apa yang Anda baca bukanlah apa yang sedang terjadi," ujarnya --menyerupai doktrin-doktrin otoritarianisme dalam buku fiksi-politik George Orwell "1984".

Uniknya, publik AS menelan mentah-mentah doktrin Trump. Meski tak semua.

Dengan segala ketegangan yang dibuat Trump kepada Media, jajak pendapat dari CBS News pada akhir Juli 2018 menunjukkan, "91 persen dari pendukung kuat presiden mengatakan mereka percaya Trump sebagai pemberi informasi yang akurat. Hanya 11 persen yang pecaya dengan media arus utama. Sementara, 63 persen mengatakan mereka mempercayai 'teman dan keluarga' mereka sendiri," demikian seperti dikutip dari BBC.

Ini menunjukkan, perang Trump dengan media telah berkontribusi pada basis dukungan yang, secara efektif, kebal --atau setidaknya abai-- terhadap berita negatif tentang sang presiden.

Publik tinggal menunggu, sejauh mana itu akan bertahan dan efektif hingga Pilpres AS 2022 mendatang --itupun jika Trump ingin kembali maju sebagai presiden untuk dua periode.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2OEJaE8

No comments:

Post a Comment